Kasus kecelakaan yang menimpa pendaki asal Indonesia, Juliana, di Gunung Marapi, Sumatera Barat, memicu banyak pertanyaan dari publik mengenai prosedur evakuasi di daerah pegunungan. Terutama, banyak yang membandingkan penanganannya dengan proses evakuasi yang terjadi di negara-negara seperti Swiss, di mana pendaki bisa dengan cepat dievakuasi menggunakan helikopter. Apa sebenarnya yang membedakan dua kondisi ini?
Evakuasi di Swiss: Infrastruktur dan Prosedur Super Canggih
Di Swiss, evakuasi pendaki bukanlah hal yang asing. Negara ini dikenal memiliki sistem SAR (Search and Rescue) yang sangat maju dan profesional, lengkap dengan armada helikopter khusus penyelamatan di pegunungan. Helikopter SAR bisa dengan mudah diterbangkan ke lokasi pendaki yang mengalami musibah karena adanya infrastruktur dan teknologi penunjang yang memadai.
Selain itu, masyarakat Swiss umumnya memiliki asuransi pendakian yang mencakup biaya evakuasi, sehingga prosesnya bisa berlangsung cepat tanpa birokrasi yang rumit. Swiss juga sudah mengadopsi prosedur evakuasi modern dengan bantuan koordinat GPS, cuaca yang dapat dipantau secara real-time, hingga komunikasi langsung antara korban dan tim penyelamat.
Mengapa Evakuasi Juliana Tidak Bisa Seperti di Swiss?
Berbeda dengan kondisi di Swiss, evakuasi Juliana menghadapi banyak kendala, baik dari sisi geografis, teknis, maupun kebijakan. Gunung Marapi merupakan gunung aktif yang baru saja mengalami erupsi. Keadaan ini sangat berisiko bagi helikopter untuk terbang karena visibilitas rendah dan ancaman material vulkanik di udara.
Tim SAR Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya maksimal dengan berjalan kaki menyisir jalur pendakian yang curam dan berbatu. Di Indonesia, helikopter memang digunakan dalam evakuasi tertentu, tetapi terbatas pada kondisi yang memungkinkan secara teknis. Dalam kasus Juliana, cuaca dan risiko erupsi membuat penerbangan helikopter menjadi sangat berbahaya.
Selain itu, belum semua pendaki di Indonesia memiliki perlindungan asuransi khusus yang mencakup biaya evakuasi darurat seperti di Swiss. Masalah pembiayaan ini juga menjadi pertimbangan dalam penggunaan alat berat seperti helikopter.
Tantangan Evakuasi di Gunung Aktif Indonesia
Para relawan dan petugas SAR biasanya harus melakukan evakuasi manual, mengangkut korban dengan tandu menuruni gunung, yang bisa memakan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari tergantung lokasi dan kondisi korban.
Harapan untuk Masa Depan: Kolaborasi dan Teknologi
Meningkatnya minat masyarakat terhadap aktivitas pendakian seharusnya dibarengi dengan penguatan sistem evakuasi darurat. Pemerintah, komunitas pecinta alam, serta sektor swasta perlu membangun ekosistem pendakian yang aman. Asuransi pendaki bisa menjadi standar baru, sementara pelatihan SAR dan teknologi pencarian perlu terus ditingkatkan.
Dengan belajar dari sistem di Swiss, Indonesia dapat mengembangkan model evakuasi yang sesuai dengan kondisi geografis lokal. Kolaborasi antara Basarnas, TNI, komunitas lokal, dan bahkan perusahaan asuransi sangat penting untuk menciptakan sistem tanggap darurat yang lebih efektif.
Evakuasi pendaki bukan hanya soal menyelamatkan nyawa, tetapi juga soal kesiapan sistem, teknologi, dan budaya keselamatan yang harus terus dibangun.