Eropa dalam Cengkeraman Utang: Jejak Ketergantungan Ekonomi terhadap Beijing
Hubungan ekonomi antara negara-negara Eropa dan China terus menjadi sorotan global, terlebih ketika menyinggung soal utang luar negeri. Tak banyak yang menyadari bahwa beberapa negara Eropa ternyata memikul beban utang yang sangat besar kepada China. Data terbaru menunjukkan, tiga negara dari Benua Biru mencatatkan angka utang yang mencengangkan, dengan Rusia menduduki posisi teratas sebagai debitur terbesar.
Menurut laporan dari Financial Times yang dikutip berbagai sumber, nilai utang Rusia kepada China kini telah menyentuh angka fantastis lebih dari US$130 miliar atau setara dengan sekitar Rp2.112 triliun. Angka ini menjadikan Rusia sebagai negara Eropa dengan utang terbesar kepada Negeri Tirai Bambu, jauh melampaui negara-negara Eropa lainnya.
Utang besar ini bukan tanpa sebab. Sejak diberlakukannya sanksi ekonomi oleh negara-negara Barat terhadap Rusia pasca konflik dengan Ukraina, China menjadi salah satu mitra utama Rusia dalam pembiayaan dan perdagangan. China menawarkan alternatif pembiayaan melalui berbagai skema investasi dan pinjaman yang menarik, terutama di sektor energi dan infrastruktur. Ketergantungan ini pun semakin dalam seiring waktu.
Selain Rusia, dua negara lain yang juga tercatat memiliki utang besar kepada China adalah Ukraina dan Belarus. Ukraina, meskipun berada dalam konflik berkepanjangan, memiliki utang sekitar US$7,3 miliar (sekitar Rp118,6 triliun) kepada China. Di sisi lain, Belarus tercatat berutang sekitar US$3,9 miliar (setara Rp63,3 triliun). Kedua negara ini juga mengalami keterikatan finansial yang tinggi akibat investasi China di sektor transportasi dan industri berat.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana pengaruh ekonomi China telah meluas ke Eropa Timur, terutama melalui program Belt and Road Initiative (BRI) yang dirancang untuk memperkuat konektivitas dan perdagangan global. Dalam kerangka BRI, China menyalurkan dana besar-besaran untuk membiayai proyek-proyek strategis di negara-negara mitranya, namun di sisi lain membuat negara penerima terjebak dalam utang jangka panjang.
Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri di kalangan pengamat ekonomi. Banyak yang mempertanyakan apakah skema utang ini benar-benar memberi keuntungan jangka panjang, atau justru menjadi bentuk baru dari kolonialisme ekonomi di era modern.
Pakar ekonomi internasional menyoroti bahwa utang-utang semacam ini berpotensi memengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara peminjam, terutama dalam menghadapi tekanan geopolitik global. Negara yang terlilit utang dalam jumlah besar kepada satu mitra dagang bisa kehilangan fleksibilitas dalam mengambil keputusan strategis.
Dalam konteks global saat ini, persaingan antara kekuatan Barat dan Timur semakin mengemuka, dan utang menjadi salah satu alat pengaruh yang efektif. Negara-negara yang cermat harus mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan kedaulatan ekonomi.
Rusia, Ukraina, dan Belarus kini menjadi contoh nyata dari bagaimana dinamika utang luar negeri ke China bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi membuka peluang pertumbuhan, di sisi lain menimbulkan tantangan strategis yang tidak bisa dipandang sebelah mata.