Washington D.C. — Suasana panas kembali menyelimuti Gedung Capitol setelah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melancarkan serangan militer terhadap Iran tanpa berkonsultasi atau memberikan pemberitahuan kepada Kongres. Langkah sepihak ini langsung menuai kritik keras dari anggota legislatif lintas partai yang merasa dilangkahi dan mengkhawatirkan dampak eskalasi konflik di Timur Tengah.
Kemarahan tersebut mencuat ke permukaan usai laporan resmi mengonfirmasi bahwa Trump memerintahkan serangan udara terhadap fasilitas militer Iran sebagai tanggapan atas dugaan ancaman terhadap pasukan AS di kawasan Teluk. Namun, yang membuat para anggota parlemen geram bukan semata-mata pada aksi militer itu sendiri, melainkan karena tidak adanya komunikasi sebelumnya dari pihak eksekutif.
Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS menyatakan bahwa tindakan Trump "melanggar prinsip dasar sistem demokrasi yang mengatur pembagian kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif." Ia juga menegaskan bahwa keputusan untuk melibatkan militer harusnya melibatkan Kongres, bukan hanya keputusan sepihak Presiden.
Senada dengan itu, beberapa senator Partai Republik pun turut menyuarakan kekecewaan mereka. "Ini bukan soal partai, ini soal prinsip konstitusi. Kami punya hak untuk diberi tahu dan berdiskusi soal keputusan sebesar ini," ujar salah satu senator senior dari Partai Republik.
Sementara itu, pihak Trump membela keputusannya dengan menyebut bahwa tindakan tersebut diambil untuk melindungi kepentingan nasional dan mencegah potensi serangan lebih besar. Menurut pernyataan resmi dari juru bicara Trump, serangan itu ditujukan untuk "menunjukkan kekuatan dan kesiapsiagaan militer AS terhadap ancaman manapun yang mencoba mengganggu stabilitas kawasan."
Namun demikian, berbagai analis hubungan internasional menyebutkan bahwa tindakan Trump berpotensi memperkeruh situasi di kawasan yang sudah tegang akibat konflik geopolitik antara Iran, Israel, dan negara-negara Teluk lainnya. Mereka menilai bahwa serangan ini bisa memicu respons balasan yang lebih agresif dari Iran.
Pakar kebijakan luar negeri dari Universitas Georgetown mengingatkan bahwa tanpa koordinasi dengan Kongres, tindakan seperti ini bisa merusak reputasi diplomatik AS dan menciptakan preseden berbahaya bagi masa depan. "Jika Presiden bisa secara sepihak melakukan tindakan militer tanpa pengawasan legislatif, maka kita berada di ujung tanduk sistem checks and balances," jelasnya.
Gelombang protes pun mulai muncul, baik dari kelompok sipil anti-perang maupun warga yang khawatir akan keterlibatan AS dalam konflik berskala besar. Beberapa aksi demonstrasi kecil telah terjadi di berbagai kota, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan luar negeri.
Kini, Kongres tengah mempertimbangkan langkah hukum untuk membatasi kekuasaan eksekutif dalam penggunaan militer secara sepihak, termasuk kemungkinan pengesahan resolusi pembatasan wewenang perang.
Ketegangan ini memperlihatkan kembali betapa rentannya sistem demokrasi terhadap dinamika kekuasaan yang tidak terkontrol, sekaligus menjadi pengingat pentingnya keseimbangan antara keamanan nasional dan akuntabilitas pemerintahan.