Banyak Pengangguran di Usia 30-an, Mengapa Dapat Kerja Semakin Sulit?



Fenomena pengangguran di usia matang makin mengkhawatirkan. Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran justru paling tinggi terjadi pada kelompok usia produktif di atas 30 tahun. Ini menjadi sorotan penting di tengah geliat pembangunan ekonomi dan janji-janji perluasan lapangan kerja.

Menurut data yang dirilis BPS, kelompok usia 30-34 tahun mencatatkan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,39%. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Menyusul di belakangnya adalah kelompok usia 25-29 tahun dengan tingkat pengangguran sebesar 5,23%. Fakta ini cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan asumsi umum bahwa semakin bertambah usia dan pengalaman, seharusnya peluang kerja makin terbuka lebar.

Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak dari mereka yang sudah memasuki usia 30-an justru terjebak dalam kesulitan mendapatkan pekerjaan. Penyebabnya pun beragam. Salah satu faktor dominan adalah mismatch antara keterampilan yang dimiliki dan kebutuhan industri. Banyak pekerja yang ketinggalan dalam hal digitalisasi dan teknologi, padahal dunia kerja saat ini makin mengarah ke arah sana.

Selain itu, ada pula masalah diskriminasi usia. Tak sedikit perusahaan yang lebih memilih pekerja muda karena dianggap lebih adaptif, energik, dan siap dibayar lebih rendah. Akibatnya, mereka yang sudah berusia 30 tahun ke atas, meskipun berpengalaman, kerap terpinggirkan dalam proses seleksi kerja.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah perubahan pola kerja yang makin fleksibel dan berbasis kontrak. Banyak perusahaan kini lebih memilih sistem kerja outsourcing atau freelance untuk efisiensi biaya. Hal ini menyulitkan para pencari kerja yang berharap pada posisi tetap dan jangka panjang.

Pemerintah sebenarnya sudah meluncurkan berbagai program pelatihan dan peningkatan keterampilan, baik melalui balai latihan kerja maupun platform digital. Namun efektivitasnya belum maksimal. Banyak peserta mengeluhkan pelatihan yang kurang relevan dengan kebutuhan industri atau sulit diakses oleh masyarakat umum.

Kondisi ini membuat banyak dari usia 30-an memilih berwirausaha, bekerja serabutan, atau bahkan kembali tinggal bersama orang tua. Realita ini menunjukkan bahwa sistem ketenagakerjaan di Indonesia membutuhkan pembaruan menyeluruh, agar kelompok usia produktif tidak justru menjadi beban.

Pakar ketenagakerjaan menilai, perlu sinergi antara pemerintah, dunia industri, dan lembaga pendidikan untuk mengatasi krisis ini. Reformasi kurikulum, program pemagangan yang terstruktur, serta insentif bagi perusahaan yang merekrut usia 30-an bisa menjadi langkah konkret.

Next dengan Timer

Ke depan, tantangan dunia kerja akan semakin kompleks. Oleh karena itu, kesiapan individu dalam meningkatkan kapasitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci penting. Tanpa itu, kelompok usia matang akan terus tertinggal dalam pusaran ketatnya kompetisi kerja.

Masyarakat dan pembuat kebijakan perlu membuka mata, bahwa usia 30-an bukan akhir dari produktivitas, tetapi justru puncak kematangan profesional. Jika tidak segera diantisipasi, kita akan menghadapi generasi yang kehilangan harapan hanya karena sistem kerja yang belum inklusif dan adil.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama