Suara Remaja Menggema: Saat Siswi SMA Menggugat Larangan Wisuda dari Seorang Pejabat

 



Beberapa hari terakhir, jagat maya diramaikan oleh video perdebatan antara seorang siswi SMA dan tokoh publik yang cukup dikenal, Dedi Mulyadi. Perdebatan itu bukan sembarang debat biasa. Bukan pula ajang adu argumen kosong. Di balik sorotan kamera dan viralnya video tersebut, tersimpan persoalan yang lebih mendalam—tentang makna sebuah perayaan bernama wisuda.

Dalam video yang kini sudah beredar luas di berbagai platform media sosial, terlihat sosok remaja perempuan yang menyuarakan kegundahannya atas wacana penghapusan acara wisuda di tingkat sekolah. Wajahnya lugas, tutur katanya tegas, namun tetap sopan saat menyampaikan pandangannya kepada Dedi Mulyadi yang tengah berkunjung ke sekolah mereka.

Sang siswi, yang belakangan diketahui bernama Aura, menyuarakan keresahannya dengan nada yang mewakili banyak pelajar lain di luar sana. Ia mempertanyakan kenapa acara wisuda, yang selama ini menjadi momen penuh makna dan kenangan bagi siswa-siswi, harus dihapuskan. Baginya, wisuda bukan sekadar formalitas mengenakan toga dan berfoto. Wisuda adalah simbol penghargaan atas perjuangan panjang para siswa dan momentum terakhir untuk merayakan kebersamaan dengan teman serta guru sebelum melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya.

Namun, Dedi Mulyadi, dalam kapasitasnya sebagai pejabat daerah, memiliki pandangan berbeda. Ia beralasan bahwa wisuda untuk tingkat TK, SD, SMP, dan SMA sebaiknya dihapus karena cenderung membebani orang tua secara ekonomi. Menurutnya, acara seperti itu sebaiknya hanya dilakukan di perguruan tinggi, tempat kelulusan memang identik dengan pencapaian akademik yang lebih formal dan profesional.

Aura tidak diam. Ia menanggapi dengan nada yang penuh keyakinan, bahwa esensi dari wisuda di sekolah bukan soal gengsi atau glamor. Tapi tentang kenangan. Tentang merayakan perjalanan belajar yang tidak mudah, apalagi dalam situasi pendidikan yang kadang masih penuh tantangan.

Next dengan Timer

Perdebatan itu pun memicu gelombang reaksi dari publik. Banyak warganet yang memuji keberanian Aura. Tak sedikit pula yang menyayangkan pernyataan Dedi Mulyadi karena dianggap kurang memahami sisi emosional dan psikologis siswa terhadap momen kelulusan mereka. Di sisi lain, ada juga yang memahami niat Dedi sebagai upaya meringankan beban masyarakat.

Terlepas dari mana posisi kita berpihak, peristiwa ini membuka ruang diskusi yang menarik. Bahwa dalam setiap kebijakan, terutama yang menyangkut pendidikan dan generasi muda, penting untuk mendengar langsung suara mereka yang terdampak. Terkadang, suara paling jernih justru datang dari mereka yang selama ini hanya dianggap sebagai objek kebijakan—para siswa.

Aura telah membuktikan bahwa suara remaja pun layak diperhitungkan. Ia tidak sekadar berani bicara, tapi juga menunjukkan kedewasaan dalam berdialog. Dan mungkin, dari perdebatan kecil itulah kita bisa mulai belajar: bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan kurikulum, tapi juga tentang memberi ruang pada rasa dan pengalaman.

Fenomena ini menjadi pengingat, bahwa di balik setiap toga yang dikenakan dengan bangga, ada cerita, usaha, air mata, dan tawa yang tidak ternilai harganya. Jadi, benarkah wisuda hanya seremoni yang bisa dihapus begitu saja?


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama