SEOUL – Dinamika politik Korea Selatan kembali memanas setelah mantan Presiden Yoon Suk-yeol resmi didakwa atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Tuduhan ini menjadi babak lanjutan dari drama politik yang telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir, menguji ketangguhan sistem demokrasi Negeri Ginseng.
Kasus hukum ini bermula dari keputusan kontroversial yang diambil oleh Yoon pada Desember 2024. Dalam situasi yang memanas akibat ketegangan antara pemerintahannya dan parlemen yang saat itu dikuasai oleh oposisi, Yoon mengambil langkah ekstrem dengan mengumumkan status darurat militer. Keputusan ini tak hanya mengejutkan publik, tapi juga menuai kecaman keras dari komunitas internasional.
Langkah darurat tersebut disinyalir dilakukan demi mempertahankan kekuasaan di tengah desakan pemakzulan yang semakin kuat. Namun, yang membuat tindakan itu sangat disorot adalah pengerahan aparat militer dan kepolisian untuk membatasi gerak anggota parlemen, serta menutup akses ke Majelis Nasional. Bahkan, laporan menyebutkan adanya upaya sistematis untuk membatasi peran media serta menekan kebebasan sipil selama masa darurat itu diberlakukan.
Tindakan tersebut akhirnya dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap konstitusi. Setelah berbagai penyelidikan dan penolakan Yoon terhadap panggilan dari Komisi Investigasi Khusus Anti-Korupsi, ia ditangkap pada pertengahan Januari 2025. Penahanan ini menjadi momen bersejarah karena untuk pertama kalinya, seorang presiden Korea Selatan ditahan saat masih aktif menjabat.
Mahkamah Konstitusi kemudian mengambil langkah tegas pada awal April 2025 dengan mencopot Yoon dari jabatannya. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Yoon telah menodai prinsip-prinsip dasar demokrasi yang selama ini menjadi fondasi pemerintahan Korea Selatan.
Tak berhenti di situ, pada 1 Mei 2025, jaksa penuntut umum kembali menjatuhkan dakwaan tambahan. Kali ini, Yoon dituduh menyalahgunakan wewenangnya dengan sengaja menginstruksikan aparat negara untuk menggagalkan proses legislatif yang sah. Aksi tersebut, menurut pihak kejaksaan, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat yang telah diatur dalam sistem kenegaraan.
Meski kali ini Yoon tidak ditahan, proses hukum masih terus bergulir. Ia terancam hukuman penjara jangka panjang, bahkan ada kemungkinan hukuman mati, meskipun eksekusi telah lama tidak dilaksanakan di Korea Selatan sejak diberlakukannya moratorium pada tahun 1997.
Respons masyarakat pun terpecah. Sebagian menilai dakwaan ini sebagai langkah penting untuk memulihkan integritas demokrasi. Namun, tak sedikit pula yang menuduh bahwa proses ini sarat kepentingan politik dan berbau balas dendam. Pro dan kontra mewarnai ruang publik, baik di media konvensional maupun media sosial.
Pakar hukum tata negara menyebut bahwa kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam sejarah peradilan Korea Selatan. Ini bisa menjadi momentum bagi pembenahan sistem pemerintahan dan penguatan lembaga-lembaga pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif.
Sidang perdana dijadwalkan akan digelar dalam waktu dekat. Sorotan dunia tertuju pada Korea Selatan, menanti bagaimana negara demokratis maju ini menghadapi ujian terbesarnya. Akankah keadilan benar-benar ditegakkan, atau justru kisah ini menjadi lembar baru dalam sejarah kelam politik nasional?
Seiring berjalannya waktu, satu hal yang pasti: krisis ini telah meninggalkan luka mendalam dalam tubuh demokrasi Korea Selatan, dan proses penyembuhannya tidak akan mudah.