Jakarta, 1 Mei 2025 – Persaingan dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) global kian memanas, dan menurut Jensen Huang, pendiri sekaligus CEO Nvidia, Cina kini benar-benar menghampiri posisi Amerika Serikat dalam lomba teknologi yang selama ini didominasi Negeri Paman Sam. Dalam berbagai kesempatan, Huang menegaskan bahwa capaian-capaian terbaru perusahaan-perusahaan Tiongkok telah menjadikan kompetisi ini semakin sulit diprediksi.
1. Jarak Tipis Antara Dua Raksasa AI
Dalam forum Hill and Valley yang berlangsung di Washington D.C. pada akhir April lalu, Huang secara terbuka menyatakan, "Cina tidak tertinggal, mereka tepat berada di belakang kita. Jaraknya sangat tipis." Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa pengembangan chip AI dan ekosistem teknologi di Tiongkok telah mencapai kualitas yang mendekati level terdepan dunia.
Menurut Huang, perusahaan-perusahaan seperti Huawei telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam hal kapasitas komputasi dan solusi jaringan yang menjadi tulang punggung layanan AI modern. Bahkan, Huawei kini tidak hanya bertumpu pada pasar domestiknya, melainkan mulai merambah arena internasional dengan upaya membentuk pipeline produksi chip AI yang mandiri.
2. Huawei sebagai Penanda Kebangkitan Teknologi Tiongkok
Huang mengangkat Huawei sebagai contoh nyata kebangkitan ekosistem teknologi Tiongkok. Ia menilai, meski sempat dibatasi oleh kebijakan larangan kerja sama teknologi dengan Amerika Serikat, Huawei justru berhasil memacu inovasi internal yang mempercepat laju pengembangan chip AI. "Langkah-langkah pembatasan yang dikenakan pada Huawei bisa jadi memicu motivasi untuk memperkuat kemandirian teknologi mereka," ujarnya.
Prediksi Huang semakin menguat ketika Huawei meluncurkan prototipe chip AI terbaru yang diklaim mampu bersaing secara performa dengan produk-produk Nvidia generasi sebelumnya. Upaya ini menjadi sinyal bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok tidak akan ragu berinvestasi besar-besaran demi mengejar ketertinggalan.
3. Dampak Kebijakan Ekspor AS terhadap Industri AI
Meski menyambut baik kemajuan global, Huang juga memperingatkan risiko yang bisa muncul dari kebijakan pembatasan ekspor teknologi tinggi. Baru-baru ini, pemerintah AS mengumumkan akan mewajibkan lisensi khusus bagi perusahaan-perusahaan yang hendak mengekspor chip seri H20—salah satu produk andalan Nvidia—ke pasar Tiongkok.
Huang memperkirakan prosedur perizinan yang ketat akan memperlambat laju distribusi chip AI Amerika, bahkan dapat mengurangi pendapatan Nvidia jika permintaan dari pasar Tiongkok terhambat. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap daya saing perusahaan-perusahaan AS di panggung global.
4. Inisiatif Produksi Lokal dan Aliansi Strategis
Untuk mengantisipasi tantangan geopolitik, Nvidia terus memperluas jaringan manufakturnya di dalam negeri Amerika Serikat. Dalam rencana lima tahun ke depan, Nvidia berkolaborasi dengan mitra seperti Foxconn untuk membangun fasilitas perakitan server AI senilai sekitar 500 miliar dolar AS di dekat Houston, Texas.
Huang menegaskan, keberadaan ekosistem produksi lokal tidak hanya akan memperpendek rantai pasok, tetapi juga menciptakan lapangan kerja serta mendukung program pemerintah AS yang mendorong onshoring teknologi. NVIDIA pun mulai memindahkan sebagian produksi dari Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. (TSMC) ke pabrik baru mereka di Arizona.
5. Dorongan untuk Kebijakan Energi Pro-Inovasi
Selain produksi, Huang juga mengingatkan bahwa infrastruktur energi menjadi kunci pertumbuhan industri AI. Sistem data center dan training model AI memerlukan pasokan listrik yang stabil dan terjangkau. Oleh sebab itu, ia mengapresiasi inisiatif pemerintah AS yang tengah menyusun kebijakan energi berskala industri.
"Tanpa dukungan kebijakan energi yang progressif dan berorientasi industri, mustahil bagi sektor AI untuk tumbuh pesat," tuturnya. Dukungan ini diharapkan mampu menjawab lonjakan kebutuhan listrik di pusat-pusat data dan memperkuat posisi Amerika sebagai pemimpin inovasi.
6. Pandangan ke Depan: Kolaborasi atau Kompetisi?
Melihat dinamika yang ada, Huang menekankan bahwa perlombaan AI bukan semata soal siapa yang memegang teknologi terdepan, melainkan bagaimana teknologi tersebut didistribusikan dan dimanfaatkan untuk kemajuan bersama. Ia menyarankan agar alih-alih fokus pada pembatasan, para pemangku kepentingan global perlu membuka ruang kolaborasi, terutama di bidang penelitian dan standarisasi teknologi.
Dengan mengintegrasikan kekuatan riset dari berbagai negara, potensi inovasi AI diyakini akan semakin besar, sekaligus memperkecil gap antara negara maju dan berkembang.
Kesimpulan
Dengan demikian, persaingan AI akan terus berlangsung intensif, diwarnai oleh dinamika geopolitik, kebijakan industri, dan inovasi teknologi. Hanya waktu yang akan membuktikan siapa yang akan memimpin revolusi berikutnya.