Dedi Mulyadi, sosok yang belakangan ini mencuri perhatian banyak pihak, bukan lagi semata-mata karena kebijakannya di pemerintahan. Julukan “Gubernur Konten” yang disematkan untuknya menggambarkan bagaimana cara ia memanfaatkan kecanggihan media sosial untuk menjangkau masyarakat Jawa Barat secara langsung. Di balik label tersebut tersimpan pertanyaan penting: sejauh mana strategi ini benar-benar efisien dan menguntungkan, serta di mana titik kritis antara komunikasi yang autentik dengan jebakan komunikasi artifisial?
Awal Mula Julukan ‘Gubernur Konten’
Label “Gubernur Konten” pertama kali mengemuka saat Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, menyelipkan sindiran ringan dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 29 April 2025. Ia menyoroti intensitas Dedi Mulyadi dalam membuat video, foto, dan cerita di berbagai platform seperti YouTube, Instagram, TikTok, hingga Facebook. Tanpa disangka, sindiran itu justru direspons positif oleh Dedi, yang kemudian membagikan data penurunan drastis anggaran iklan Pemprov Jawa Barat berkat strategi kontennya.
Dampak Signifikan Terhadap Anggaran Promosi
Tradisionalnya, anggaran belanja iklan pemerintah daerah di Jawa Barat mencapai sekitar Rp50 miliar per tahun untuk memasang iklan di media konvensional. Namun, setelah ekosistem konten aktif Dedi Mulyadi berjalan selama beberapa bulan, biaya promosi tersebut merosot hingga hanya tersisa sekitar Rp3 miliar. Dengan jumlah penonton dan interaksi yang terus meningkat, anggaran yang tersisa lebih difokuskan pada konten digital yang dirancang untuk memberikan kesan lebih personal dan real-time.
“Alhamdulillah, dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan. Dari yang biasanya Rp50 miliar, sekarang hanya Rp3 miliar saja,” ujar Dedi dalam forum yang sama.
Langkah ini dianggap sebagai terobosan yang mampu menghemat dana publik, sekaligus membangun citra pemerintahan yang modern dan dekat dengan warganya.
Perspektif Ahli Komunikasi Politik
Verdy Firmantoro, pakar komunikasi politik dari Universitas Brawijaya, menilai pendekatan ini mengadopsi strategi personalisasi pesan yang kerap dilihat pada pemimpin populis di negara demokrasi, termasuk mantan Presiden Joko Widodo. Menurut Verdy, keaktifan Dedi di konten digital mencerminkan upaya membangun narasi kepemimpinan yang empatik dan responsif.
“Ini bukan hal baru secara teknis, namun relevansi saluran dan pesan dengan karakter publik Jawa Barat menjadi kunci keberhasilan komunikasi politik yang dijalankan oleh Kang Dedi,” ungkap Verdy.
Meski ada kemiripan dengan gaya komunikasi Jokowi yang dikenal kerap blusukan, Verdy menekankan bahwa Dedi justru menekankan narasi individual yang lebih interaktif, memanfaatkan ragam fitur media sosial untuk menyapa warganya.
Agung Baskoro, Direktur Eksekutif Trias Politika, mengingatkan potensi risiko bila mekanisme komunikasi berubah menjadi monolog digital. Menurut Agung, ketiadaan media sebagai mediator dapat membuat proses penyampaian informasi berjalan satu arah, sehingga masyarakat kehilangan kesempatan mempertanyakan dan memverifikasi kebijakan.
“Publisitas berlebih tanpa mekanisme umpan balik yang memadai bisa menciptakan ekspektasi yang tak realistis dan menimbulkan resistensi ketika kebijakan tak sesuai harapan,” jelas Agung.
Jebakan Komunikasi Artifisial dan Tantangan Transparansi
Istilah “jebakan komunikasi artifisial” mengacu pada situasi di mana tampilan aktif di media sosial menciptakan ilusi kedekatan dan transparansi, padahal proses kebijakan di balik layar tetap tertutup. Kondisi ini dapat menimbulkan interpretasi salah atas keberhasilan program, karena penilaian publik didasarkan pada impresi visual, bukan bukti implementasi lapangan.
Sejumlah kritikus menyoroti bahwa tanpa dokumentasi yang memadai mengenai hasil konkret setiap kebijakan, konten yang tampil bisa terasa dangkal. Mereka menegaskan bahwa aspek substansi kebijakan mesti selalu dikedepankan agar narasi digital yang dibangun sesuai dengan realitas kerja pemerintahan.
Membangun Keseimbangan Antara Digital dan Konvensional
Dari sudut pandang operasional, kolaborasi antara metode komunikasi konvensional dan digital perlu dipertahankan. Misalnya, penyelenggaraan rapat publik dan lokakarya tatap muka untuk menggali aspirasi warga, dibarengi dengan live streaming dan dokumentasi digital untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.
Kesimpulan: Era Baru Komunikasi Kepemimpinan Lokal
Fenomena “Gubernur Konten” yang diperankan oleh Dedi Mulyadi membuka diskusi penting tentang bagaimana sosok pemimpin masa kini memanfaatkan teknologi informasi. Di satu sisi, ia berhasil menekan anggaran promosi, meningkatkan visibilitas, dan memperkuat citra sebagai pemimpin merakyat. Di sisi lain, ia diingatkan akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kreasi konten dan substansi kebijakan.
Di era di mana algoritme media sosial menentukan sejauh mana pesan tersampaikan, kepiawaian menghasilkan konten bukan sekadar soal popularitas. Lebih dari itu, kualitas kebijakan dan akuntabilitas tetap menjadi fondasi utama kepercayaan publik.