Jakarta – Kasus pembunuhan keji yang terjadi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, menyisakan luka mendalam sekaligus misteri yang belum sepenuhnya terungkap. Seorang remaja laki-laki, berusia 17 tahun, menjadi pelaku utama dalam aksi mengerikan yang merenggut nyawa ayah dan neneknya sendiri di kediaman mereka. Publik dikejutkan, tak hanya karena pelaku masih di bawah umur, namun juga karena pengakuannya yang dirasa tidak sejalan dengan fakta-fakta yang terungkap di lapangan.
Pihak kepolisian yang menangani kasus ini menyampaikan bahwa tersangka sempat mengutarakan penyesalan atas perbuatannya. Namun, penyidik menyatakan adanya keraguan terhadap ketulusan rasa sesal yang diungkapkan. Hal ini didasarkan pada sejumlah kejanggalan selama proses pemeriksaan, termasuk sikap pelaku yang terlihat tenang dan tidak menunjukkan penyesalan mendalam sebagaimana umumnya dalam kasus serupa.
"Ia memang mengaku menyesal, tapi sikap dan ekspresi emosinya justru bertolak belakang. Ini menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut," ujar Kanit Reskrim Polsek Cilandak, Iptu Yusuf Ardhiyasa, dalam keterangan kepada wartawan.
Peristiwa berdarah itu terjadi pada akhir November 2024. Pelaku melakukan tindakan brutal dengan menyerang ayah dan neneknya menggunakan senjata tajam. Kedua korban mengalami luka berat dan akhirnya meninggal di tempat. Investigasi awal menyebutkan adanya dorongan emosional kuat dari dalam diri pelaku, yang dipicu oleh konflik keluarga yang memanas.
Namun begitu, banyak pihak mempertanyakan motif sesungguhnya. Beberapa tetangga yang mengenal keluarga tersebut menyebutkan bahwa hubungan di dalam rumah tampak baik-baik saja dari luar. Sementara itu, hasil pendalaman psikologis terhadap pelaku masih terus dilakukan guna menggali apakah terdapat gangguan kejiwaan atau trauma yang melatarbelakangi tindakannya.
Dalam proses hukum, pelaku mendapat perlakuan sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Penahanan dilakukan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), dan pemeriksaan juga melibatkan pendampingan dari lembaga perlindungan anak serta psikolog forensik.
Muncul pula perdebatan di masyarakat mengenai efektivitas penyesalan sebagai faktor pertimbangan hukuman. Banyak kalangan menilai bahwa penyesalan yang tidak disertai perubahan perilaku atau pengakuan yang tulus hanyalah bentuk manipulasi untuk meringankan hukuman. Apalagi dalam kasus ini, pelaku sempat mencoba menghilangkan jejak dan kabur sebelum akhirnya ditangkap.
Tragedi ini menjadi cermin buram dari kondisi sosial yang semakin kompleks. Seorang remaja yang seharusnya menikmati masa pertumbuhan dan pendidikan, justru terjebak dalam situasi penuh amarah hingga tega menghilangkan nyawa anggota keluarganya sendiri.