Fenomena "sound horeg" atau penggunaan pengeras suara berlebihan yang biasa ditemui dalam konvoi kendaraan dan acara hiburan jalanan kini mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam sebuah keputusan yang mengejutkan, MUI secara resmi mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik ini karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan melanggar norma-norma dalam Islam.
Fatwa ini disampaikan oleh Komisi Fatwa MUI Pusat dan diumumkan usai rapat internal yang membahas dampak sosial dan keagamaan dari kebisingan yang ditimbulkan oleh sound horeg. Menurut MUI, penggunaan speaker berdaya besar di tempat umum tanpa memperhatikan kenyamanan masyarakat sekitar tidak hanya melanggar etika sosial tetapi juga termasuk dalam kategori perbuatan yang mengganggu kemaslahatan umum.
"Dalam Islam, segala bentuk tindakan yang membawa mudarat dan merusak ketenangan lingkungan, termasuk kebisingan ekstrem seperti sound horeg, dapat dikategorikan haram. Ini tidak sekadar soal suara, tapi soal etika bermasyarakat," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh.
Keputusan ini menuai berbagai reaksi, termasuk dari pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar, menilai bahwa fatwa MUI tersebut perlu dipahami dalam konteks sosial yang lebih luas. Ia menyebutkan bahwa regulasi terkait kebisingan sudah diatur dalam hukum positif di Indonesia, namun fatwa ini menambahkan perspektif moral dan etika keagamaan yang penting.
"Kami menghargai pandangan keagamaan yang disampaikan MUI, karena ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan publik. Fatwa seperti ini bisa menjadi masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya dalam menangani kasus-kasus pelanggaran ketertiban umum akibat kebisingan," kata Cahyo.
Sementara itu, masyarakat sendiri menunjukkan respons beragam. Sebagian mendukung langkah MUI karena merasa terganggu oleh suara sound system yang memekakkan telinga, terutama di malam hari. Namun ada pula yang menganggap bahwa pelarangan ini bisa mengekang kreativitas dan kebebasan berekspresi, terutama di kalangan anak muda yang menjadikan sound horeg sebagai bagian dari gaya hidup.
Dengan adanya fatwa ini, diharapkan akan tercipta kesadaran baru di tengah masyarakat untuk lebih menghargai ketenangan dan kenyamanan bersama. Pemerintah daerah pun mulai mempertimbangkan penerapan aturan yang lebih tegas terhadap penggunaan speaker besar di area publik, terutama jika tidak memiliki izin resmi.
Fatwa MUI ini bukanlah bentuk kriminalisasi, tetapi lebih kepada ajakan moral untuk hidup lebih harmonis dalam lingkungan sosial. Bagaimanapun juga, kebebasan berekspresi harus disertai dengan tanggung jawab terhadap dampak sosial yang ditimbulkan.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah dan masyarakat. Apakah fenomena sound horeg akan terus bergema atau justru mulai meredup seiring dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan aturan yang lebih humanis?