Di tengah berbagai isu yang berseliweran di ruang publik, satu wacana yang rasanya tidak pernah benar-benar padam adalah soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Meskipun sudah beberapa kali dibantah dan diklarifikasi oleh pihak-pihak terkait, isu ini tampaknya masih terus bergulir, seolah menjadi bahan bakar abadi bagi sebagian kalangan yang belum puas dengan segala pencapaian dan perjalanan politik Presiden ke-7 RI tersebut.
Namun baru-baru ini, sebuah kelompok yang terdiri dari alumni Universitas Gadjah Mada, yaitu Forum Penyelamat Eksistensi Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada atau yang lebih dikenal sebagai Formasi Kagama, akhirnya angkat bicara dengan sikap yang tegas dan terbuka. Dalam pernyataan mereka, Formasi Kagama menilai bahwa sudah saatnya publik berhenti memperdebatkan keaslian ijazah Jokowi—isu yang menurut mereka tak hanya usang, tetapi juga tak produktif bagi bangsa yang tengah berjuang pulih dari berbagai tantangan.
Defiyan Cori, yang menjabat sebagai Koordinator Formasi Kagama, dengan lantang menyampaikan bahwa polemik ini sebenarnya tidak memiliki pijakan yang kuat sejak awal. Ia menggarisbawahi bahwa seluruh proses administrasi pencalonan Jokowi sejak menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, lalu Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden, telah melewati tahapan verifikasi yang sah dan sesuai aturan. Mulai dari partai politik pengusung hingga lembaga-lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), semuanya telah menjalankan peran mereka dalam memastikan legalitas dokumen yang diajukan setiap kandidat.
“Sebenarnya ini bukan soal ijazah saja, tapi soal niat di balik terus diungkit-ungkitnya isu ini. Kita patut bertanya, kenapa baru sekarang ributnya? Mengapa ketika beliau masih menjabat sebagai wali kota atau gubernur, isu ini tidak diangkat dengan semasif sekarang?” ujar Defiyan dalam pernyataan resminya.
Lebih lanjut, Formasi Kagama mengingatkan bahwa publik harus cerdas membedakan antara kritik konstruktif dan manuver politik yang bersifat destruktif. Mereka menyayangkan bahwa energi bangsa yang seharusnya bisa difokuskan untuk membangun dan berinovasi, justru tersedot oleh isu yang tidak berdasar dan sarat nuansa politisasi.
“Bangsa ini sedang menghadapi berbagai tantangan, dari pemulihan ekonomi pasca-pandemi, perubahan iklim, hingga ketegangan geopolitik global. Kita tidak punya kemewahan waktu untuk terus mengulang debat yang tak memberi nilai tambah,” lanjut Defiyan.
Mereka juga menyerukan kepada lembaga-lembaga resmi negara agar bertindak lebih proaktif. Jika memang isu ini dianggap sudah tidak relevan, maka seharusnya ada langkah nyata dari KPU, Bawaslu, bahkan pemerintah untuk menyudahi polemik ini secara tuntas. Publik berhak mendapatkan klarifikasi resmi dan ketegasan hukum agar rumor semacam ini tidak terus dijadikan alat propaganda.
Apa yang disampaikan oleh Formasi Kagama sebenarnya adalah refleksi dari kerinduan banyak warga negara terhadap diskursus politik yang lebih bermutu. Sudah saatnya, menurut mereka, bangsa ini beralih dari gaya debat yang penuh intrik ke arah diskusi yang lebih substansial dan membangun.
Sebagai alumni dari institusi pendidikan ternama seperti UGM, mereka merasa bertanggung jawab menjaga marwah universitas dan integritas akademik dari alumni-alumninya. Isu yang menyeret keabsahan ijazah seorang presiden bukan hanya mencederai pribadi, tetapi juga institusi pendidikan yang bersangkutan.
Pernyataan ini layak menjadi catatan penting dalam dinamika politik kita. Bahwa di balik hiruk-pikuk narasi yang seringkali berisik di permukaan, masih ada kelompok yang berpikir jernih dan berani menyuarakan kebenaran, bukan karena kepentingan politik, tapi demi warisan moral bangsa yang lebih besar.