Jakarta, 1 Mei 2025 – Pasar emas diprediksi bakal tetap berada di zona hijau hingga akhir tahun, seiring ketidakpastian kondisi global yang masih bergejolak. Data terkini dari PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) mencatat lonjakan volume transaksi emas mencapai lebih dari 120% dalam beberapa bulan terakhir, menegaskan posisi logam mulia sebagai instrumen lindung nilai paling diminati investor.
Ketidakpastian Global sebagai Pemicu Kenaikan Situasi ekonomi dan politik di panggung internasional masih menyisakan banyak tanda tanya. Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China belum mereda, sementara kebijakan moneter bank sentral utama dunia, terutama Federal Reserve AS, terus memengaruhi arah pasar komoditas. Di tengah tekanan inflasi yang belum terkendali, emas kian menarik perhatian karena mampu meredam dampak fluktuasi mata uang dan suku bunga.
“Emas tetap menjadi pilihan utama investor ketika ketidakpastian melanda,” ujar Direktur Utama PT KBI, Budi Susanto. Menurutnya, meski sering disebut komoditas yang relatif stabil, harga emas global tak luput dari dinamika permintaan dan pasokan internasional.
Prediksi Harga hingga Akhir Tahun Mengacu pada proyeksi JP Morgan, harga emas dunia diperkirakan akan menembus level US$3.500–3.600 per troy ons pada triwulan terakhir 2025. Optimisme ini didasarkan pada potensi konflik tarif yang berkepanjangan antara AS dan China, serta kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter di akhir tahun yang justru mendorong investor beralih ke aset safe haven.
Budi menambahkan, "Jika perang dagang belum menemukan titik terang, tekanan beli di pasar emas akan tetap tinggi, sehingga harga punya ruang untuk melanjutkan penguatannya."
Peran Investor Ritel dan Lembaga Fenomena kenaikan harga emas tak hanya dirasakan oleh kalangan institusi besar, tetapi juga investor ritel. Berdasarkan catatan KBI, transaksi emas ritel tumbuh signifikan, dengan minat beli terkonsentrasi pada derivatif emas berjangka maupun pembelian fisik melalui logam mulia ANTAM.
Sementara itu, analis pasar komoditas melihat peningkatan ini sebagai langkah antisipasi terhadap potensi koreksi pasar saham dan obligasi. "Investor mencari portofolio yang lebih seimbang. Emas menawarkan diversifikasi sekaligus perlindungan terhadap gejolak ekonomi," jelas Ekonom Senior dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Permata.
Risiko dan Peluang di Sisi Lain Meski prospeknya cerah, sejumlah ahli mengingatkan adanya risiko di balik lonjakan harga emas. Fluktuasi nilai dolar AS, perubahan kebijakan fiskal pemerintah besar, hingga perkembangan situasi geopolitik lain seperti konflik Timur Tengah, disebut-sebut dapat memicu koreksi harga logam mulia.
Dr. Ratna juga menyorot peran suku bunga acuan. "Ketika The Fed menaikkan suku bunga lebih agresif dari perkiraan pasar, emas bisa terkoreksi, karena biaya peluang memegang logam mulia meningkat. Namun sebaliknya, langkah dovish bank sentral dunia akan mengerek harga emas lebih tinggi."
Strategi Investasi Jangka Panjang Bagi investor jangka panjang, momen harga emas menguat justru menjadi kesempatan untuk menambah kepemilikan emas dalam portofolio. Diversifikasi lewat instrumen seperti kontrak berjangka, tabungan emas, atau pembelian batangan fisik bisa dipertimbangkan sesuai profil risiko.
"Emas bukan sekadar komoditas, melainkan asuransi aset. Saat volatilitas pasar meningkat, emas memberikan stabilitas nilai," tambah Budi Susanto.
Kesimpulan