Jakarta, 7 Maret 2025 – Jaksa Agung Republik Indonesia, Sanitiar Burhanuddin, kembali menegaskan komitmennya dalam memberantas korupsi, terutama dalam kasus besar yang merugikan negara. Salah satu kasus yang tengah menjadi sorotan adalah dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan PT Pertamina. Dalam pernyataannya, Burhanuddin mengisyaratkan bahwa hukuman mati dapat menjadi opsi bagi pelaku yang terbukti bersalah, terutama jika kejahatan tersebut dilakukan dalam situasi darurat seperti pandemi.
"Jika ada indikasi bahwa perbuatan ini dilakukan saat negara sedang dalam kondisi sulit, seperti pandemi, dan menyebabkan kerugian besar bagi negara serta masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan hukuman mati dapat dijatuhkan. Semua akan bergantung pada pembuktian di persidangan dan ketentuan hukum yang berlaku," ujar Burhanuddin dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (6/3/2025).
Skandal Korupsi yang Mengguncang Negeri
Kasus ini bermula dari temuan Kejaksaan Agung terkait dugaan penyimpangan dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang dilakukan oleh beberapa pihak di PT Pertamina dan mitra bisnisnya. Dugaan korupsi ini terjadi dalam periode 2018 hingga 2023 dan diduga telah menyebabkan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah.
Dalam proses penyelidikan, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. Salah satu nama yang mencuat adalah Riva Siahaan, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. Selain Riva, terdapat enam tersangka lain yang berasal dari berbagai posisi strategis di anak perusahaan Pertamina dan mitra bisnisnya.
Para tersangka diduga melakukan manipulasi dalam rapat optimalisasi hilir, yang bertujuan untuk mengurangi produksi kilang dalam negeri. Akibatnya, kebutuhan minyak mentah nasional harus dipenuhi melalui impor, yang diduga melibatkan peran broker dan perantara yang mengambil keuntungan besar dalam transaksi tersebut. Tindakan ini diduga tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak pada kestabilan energi nasional.
Siapa Saja yang Terlibat?
Selain Riva Siahaan, nama-nama lain yang ditetapkan sebagai tersangka antara lain:
SDS – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
AP – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
YF – Pejabat di PT Pertamina International Shipping
MKAN – Beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Mereka diduga berperan dalam berbagai skema yang mengarah pada kerugian negara yang sangat besar. Sejumlah pihak menilai bahwa praktik korupsi ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur, melibatkan berbagai pihak yang memiliki posisi strategis dalam pengambilan keputusan.
Tindakan Tegas dari Kejaksaan Agung
Jaksa Agung menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhenti pada penetapan tersangka. Ia memastikan bahwa Kejaksaan Agung akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk membersihkan lingkungan BUMN dari praktik-praktik korupsi. Ia juga menekankan bahwa kasus ini tidak mencerminkan kebijakan korporasi PT Pertamina secara keseluruhan, melainkan perbuatan segelintir oknum yang menyalahgunakan kewenangan mereka.
"Kita ingin memastikan bahwa kasus ini diusut sampai tuntas. Kami tidak ingin ada anggapan bahwa korupsi di sektor energi ini dibiarkan. Kami akan terus berkoordinasi dengan pihak Pertamina untuk memperbaiki tata kelola dan memastikan agar kejadian serupa tidak terulang kembali," tegas Burhanuddin.
Silahkan tunggu dalam 30 detik.
Download Timer
Benarkah Hukuman Mati Bisa Diterapkan?
Pernyataan Jaksa Agung mengenai kemungkinan penerapan hukuman mati dalam kasus ini memicu diskusi di kalangan ahli hukum dan masyarakat. Beberapa pihak mendukung langkah tegas ini sebagai bentuk efek jera bagi para pelaku korupsi kelas kakap yang merugikan negara. Namun, ada juga yang mempertanyakan apakah pasal yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat digunakan untuk menjerat pelaku dengan hukuman mati.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati memang dapat diterapkan dalam kondisi tertentu, seperti jika korupsi dilakukan dalam situasi darurat atau yang berpotensi mengganggu ketahanan negara. Kasus korupsi yang terjadi saat pandemi bisa masuk dalam kategori ini, terutama jika terbukti berdampak pada krisis ekonomi atau kesehatan masyarakat.
"Penerapan hukuman mati harus melalui kajian hukum yang mendalam dan tidak bisa sembarangan dijatuhkan. Namun, jika terbukti ada unsur-unsur yang memenuhi syarat, maka hal ini bisa menjadi preseden penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar seorang pakar hukum pidana yang enggan disebutkan namanya.
Menunggu Langkah Selanjutnya
Kasus ini masih terus bergulir, dan masyarakat menantikan langkah selanjutnya dari Kejaksaan Agung dalam proses hukum terhadap para tersangka. Apakah benar mereka akan dijatuhi hukuman berat, ataukah akan ada celah hukum yang memungkinkan mereka lolos dari jerat pidana maksimal?
Yang jelas, kasus ini menjadi pengingat bahwa korupsi di sektor energi tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga berpotensi mengancam ketahanan nasional. Kejaksaan Agung berjanji akan mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan seadil-adilnya.
Masyarakat pun diharapkan terus mengawasi perkembangan kasus ini dan mendukung upaya pemberantasan korupsi demi terciptanya pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas dari praktik curang yang merugikan bangsa.