Di tengah gegap gempita dunia digital, platform media sosial seperti TikTok menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak dan remaja. Namun, tren terbaru yang terlihat seru dan menyenangkan, bisa menyimpan bahaya tersembunyi. Salah satu tren yang belakangan ramai adalah "Yes You Can"—sebuah tantangan yang terlihat polos namun diam-diam menjadi pintu masuk bagi predator seksual daring.
Tren ini awalnya tampak seperti konten motivasi, dengan anak-anak atau remaja menanggapi pertanyaan atau pernyataan dengan gestur percaya diri disertai dengan lagu latar yang menyemangati. Kontennya memang tampak ringan dan menyenangkan. Namun, siapa sangka, di balik semua itu, ada sejumlah risiko serius yang mengintai.
Psikolog anak dan remaja, serta para pakar keamanan digital, memperingatkan bahwa konten seperti ini bisa menjadi celah untuk para predator seksual online. Mereka memanfaatkan tren ini untuk mengamati anak-anak, mengidentifikasi karakter, dan bahkan memancing interaksi lebih lanjut melalui komentar atau pesan pribadi. Terlebih lagi, ketika anak-anak memproduksi konten ini tanpa pengawasan orang tua, potensi bahaya meningkat drastis.
Salah satu masalah utamanya adalah algoritma TikTok yang memungkinkan video viral dalam waktu singkat, bahkan dari akun pengguna yang tidak memiliki banyak pengikut. Ini membuka kemungkinan konten anak-anak tersebar luas tanpa batasan, menjangkau siapa saja, termasuk orang dewasa dengan niat jahat. Fenomena ini diperparah oleh minimnya kontrol privasi dari anak-anak sendiri yang belum memahami konsekuensi dari jejak digital mereka.
Fenomena ini pun mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pakar keamanan digital menyebut bahwa tren seperti "Yes You Can" menjadi contoh nyata bagaimana konten yang tampaknya tidak berbahaya bisa digunakan sebagai alat grooming digital—proses di mana predator membangun kedekatan emosional dengan calon korban untuk tujuan eksploitasi seksual.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama lembaga perlindungan anak mendorong orang tua untuk lebih aktif dalam mendampingi anak-anak saat menggunakan media sosial. Edukasi literasi digital menjadi kunci utama untuk mengurangi risiko ini. Anak-anak perlu diberi pemahaman tentang apa itu konten aman, bagaimana menjaga privasi, serta pentingnya tidak membagikan informasi pribadi kepada siapa pun di internet.
Orang tua pun didorong untuk membangun komunikasi terbuka dengan anak. Bukan hanya sekadar mengawasi, namun juga menjadi tempat aman bagi anak untuk bercerita dan bertanya. Dengan cara ini, anak-anak akan lebih merasa nyaman dan tidak segan untuk berbagi ketika mereka mengalami situasi mencurigakan di dunia maya.
Selain itu, perlu ada peran aktif dari platform itu sendiri. TikTok sebagai penyedia layanan wajib untuk terus memperbarui sistem moderasi dan pelaporan, serta membuat sistem pelindung tambahan untuk pengguna anak-anak. Beberapa negara bahkan sudah mulai mendorong regulasi lebih ketat terkait konten anak di media sosial.