Pemerintahan Prabowo dan Krisis Komunikasi: Awal yang Penuh Teka-Teki


 Memasuki awal masa jabatan Presiden Prabowo Subianto, publik dikejutkan oleh sejumlah kejadian yang menyita perhatian, bukan karena prestasi, melainkan karena persoalan komunikasi yang terlihat amburadul. Dalam 100 hari pertama, berbagai keputusan dan pernyataan dari pihak Istana justru menimbulkan kebingungan hingga menciptakan keresahan di masyarakat. Jika ditelusuri, akar permasalahan ini berkutat pada bagaimana komunikasi dikelola, dipahami, dan disampaikan kepada rakyat.

Salah satu contoh yang cukup menyita perhatian publik adalah pembatalan kunjungan Presiden Prabowo ke Malaysia. Alih-alih disampaikan secara transparan, informasi yang beredar justru membingungkan. PM Malaysia, Anwar Ibrahim, menyebutkan alasan pembatalan adalah karena Presiden mengalami demam. Namun pernyataan ini dengan cepat dibantah oleh Sekretariat Kabinet Indonesia tanpa memberikan informasi alternatif yang jelas. Ketidakselarasan ini memicu spekulasi, menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi dalam menyampaikan informasi ke publik.

Tak berhenti sampai di situ, respons pemerintah terhadap insiden pengiriman kepala babi ke kantor media Tempo menambah daftar kegagapan komunikasi. Alih-alih menyampaikan empati dan kecaman terhadap tindakan intimidatif tersebut, Kepala Komunikasi Kepresidenan justru menyampaikan pernyataan yang dinilai sinis dan tidak etis. Hal ini tidak hanya memperburuk citra pemerintah, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait sikap Istana terhadap kebebasan pers.

Menurut banyak pengamat, pola komunikasi pemerintahan saat ini terlalu dipengaruhi oleh gaya militeristik—cenderung satu arah, tertutup, dan minim dialog. Gaya ini tentu bertolak belakang dengan tuntutan masyarakat modern yang menginginkan keterbukaan, transparansi, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintahan yang demokratis semestinya memfasilitasi diskusi dua arah, bukan hanya mengedarkan narasi yang sudah jadi.

Kebijakan mendadak, seperti rencana revisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diumumkan dalam waktu yang sangat sempit, juga memperkuat citra bahwa pemerintah tidak cukup matang dalam menyusun strategi komunikasi. Tak ada edukasi publik, tak ada pelibatan masyarakat, hanya sekadar pengumuman sepihak yang membuat masyarakat kebingungan.

Padahal, komunikasi politik bukan sekadar menyampaikan informasi. Ia adalah bagian dari proses membangun legitimasi. Tanpa komunikasi yang jelas, konsisten, dan meyakinkan, segala kebijakan, sebaik apa pun isinya, akan sulit diterima oleh publik.

Tak sedikit kalangan akademisi dan praktisi komunikasi menilai bahwa tim komunikasi pemerintah belum berhasil menjalankan fungsinya secara maksimal. Dengan sumber daya yang besar, keberadaan banyak juru bicara, justru malah membuat pesan-pesan pemerintah terdengar tumpang tindih dan tidak konsisten. Di era media sosial seperti sekarang, komunikasi yang buruk hanya butuh hitungan detik untuk berubah menjadi krisis citra yang sulit dikendalikan.

Next dengan Timer

Pemerintahan Prabowo seharusnya mengambil pelajaran dari berbagai kritik dan memperbaiki pola komunikasinya sejak dini. Keterbukaan informasi, koordinasi lintas lembaga, serta pelibatan publik dalam narasi kebijakan menjadi langkah strategis yang tak bisa diabaikan. Jika tidak, bukan hanya legitimasi yang terkikis, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Kesalahan dalam komunikasi bukanlah hal sepele, terutama dalam iklim demokrasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah perlu berbenah jika tak ingin terus terjebak dalam pusaran blunder komunikasi yang bisa merugikan citra dan stabilitas kepemimpinan nasional.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama