Gojek dan Ojol Panas Dingin: Bonus Saja Tak Cukup, Mana THR Kami?






 Belakangan ini, isu mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para pengemudi ojek online (ojol) kembali memanas. Gojek, sebagai salah satu pemain utama dalam industri transportasi online di Indonesia, menjadi sorotan tajam setelah munculnya pernyataan bahwa perusahaan hanya memberikan bonus kepada para driver, bukan THR seperti yang diharapkan.

Sejumlah pengemudi ojol yang tergabung dalam berbagai komunitas mengaku kecewa dengan kebijakan tersebut. Mereka merasa tidak diperlakukan adil, mengingat beban kerja yang semakin berat terutama menjelang hari raya. Beberapa dari mereka bahkan menyuarakan kekecewaannya melalui media sosial dan komunitas online.

Harapan yang Tak Tersampaikan

Para pengemudi ojol sejatinya berharap mendapatkan THR sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras mereka sepanjang tahun. Mereka menilai, bonus yang diberikan oleh Gojek tidak mencerminkan rasa keadilan, apalagi jika dibandingkan dengan keuntungan yang diraih perusahaan selama setahun terakhir.

"Bonus itu cuma istilah. Kami butuh THR, bukan sekadar bonus yang nilainya tidak seberapa," ujar Arman, salah satu pengemudi ojol yang telah bergabung dengan Gojek selama lima tahun. Menurutnya, bonus yang diberikan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat hari raya.

Gojek Angkat Bicara

Menanggapi keluhan tersebut, pihak Gojek memberikan klarifikasi bahwa bonus yang diberikan merupakan bentuk apresiasi perusahaan kepada para mitra driver. Bonus tersebut disesuaikan dengan kinerja dan pencapaian masing-masing pengemudi. Namun, perusahaan tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai alasan tidak diberikannya THR secara langsung.

Silahkan tunggu dalam 30 detik.

Download Timer
"Kami selalu berkomitmen untuk mendukung kesejahteraan mitra kami. Bonus yang kami berikan adalah bagian dari upaya kami untuk mengapresiasi kerja keras mereka," kata perwakilan Gojek dalam sebuah pernyataan resmi.

Pandangan Pakar Ketenagakerjaan

Menurut pakar ketenagakerjaan, ada celah dalam status hukum pengemudi ojol sebagai mitra, bukan karyawan tetap. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki hak-hak ketenagakerjaan sebagaimana pekerja formal, termasuk THR.

"Perusahaan digital seperti Gojek memanfaatkan status kemitraan ini untuk menghindari kewajiban yang berlaku pada pekerja tetap," kata Dedi Sumarno, pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia. Ia menambahkan bahwa seharusnya ada regulasi lebih jelas yang mengakomodasi kesejahteraan para pekerja gig economy.

Suara dari Lapangan

Di lapangan, protes para pengemudi ojol terus bergulir. Mereka merasa tidak dihargai dan berharap ada perubahan kebijakan terkait pemberian THR. Beberapa komunitas bahkan berencana menggelar aksi damai untuk menyuarakan tuntutan mereka.

"Kami akan terus bersuara sampai ada kejelasan dari perusahaan. Jangan cuma janji manis, tapi realisasi nihil," kata Budi, koordinator komunitas ojol di Jakarta.

Pemerintah Harus Turun Tangan

Situasi ini semakin kompleks karena belum ada regulasi tegas dari pemerintah terkait pemberian THR bagi pekerja di sektor gig economy. Banyak pihak berharap pemerintah turun tangan untuk memberikan kejelasan hukum agar tidak ada lagi polemik seperti ini di masa mendatang.

Apakah suara para pengemudi ojol akan didengar? Ataukah perjuangan mereka akan kembali kandas di tengah arus bisnis digital yang terus berkembang? Yang pasti, perjuangan mereka untuk mendapatkan THR masih jauh dari kata selesai.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama