Purbalingga, Februari 2025 – Dunia musik Tanah Air kembali dihebohkan dengan kabar tak mengenakkan yang datang dari band punk asal Purbalingga, Sukatani. Para personelnya mengaku mengalami tekanan dari aparat kepolisian sejak pertengahan 2024, terutama setelah merilis lagu yang dianggap sebagai bentuk kritik sosial terhadap institusi tertentu. Dugaan intimidasi ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, pegiat HAM, hingga politisi.
Awal Mula Kejadian: Dari Kritik Hingga Tekanan
Kisah ini bermula saat Sukatani merilis lagu berjudul Bayar, Bayar, Bayar pada pertengahan 2024. Lirik lagu tersebut menyoroti berbagai kebijakan yang dinilai merugikan rakyat kecil, termasuk dugaan pungutan liar dan ketidakadilan hukum. Tak disangka, lagu yang semula hanya ditujukan sebagai kritik konstruktif justru berujung pada serangkaian tindakan yang disebut sebagai intimidasi oleh para personel band tersebut.
Menurut pengakuan mereka, sejak Juli 2024, beberapa personel mulai mendapatkan panggilan dan peringatan dari pihak berwenang. Ada juga laporan mengenai kunjungan aparat ke kediaman mereka serta tekanan yang membuat mereka merasa terancam. Puncaknya, pada awal tahun 2025, band ini merilis video klarifikasi yang berisi permintaan maaf serta penarikan lagu dari berbagai platform digital.
Reaksi Publik dan Lembaga Hak Asasi Manusia
Dugaan adanya tekanan terhadap Sukatani segera menarik perhatian berbagai pihak. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik tindakan ini sebagai langkah yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Plt. Direktur Eksekutif ICJR, Maidina Rahmawati, menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum bagi aparat untuk melakukan pemanggilan terhadap personel band hanya karena konten lagu mereka.
“Seharusnya, pemanggilan oleh aparat hanya dilakukan dalam konteks penegakan hukum yang jelas dan sesuai dengan KUHAP. Jika ini terkait kebebasan berekspresi, maka patut dipertanyakan legalitas tindakan tersebut,” ujar Maidina dalam pernyataannya.
Tak hanya ICJR, berbagai aktivis HAM juga turut bersuara. Mereka menilai bahwa tekanan semacam ini bisa menciptakan efek jera bagi musisi lain yang ingin menyuarakan aspirasi rakyat melalui karya seni mereka.
Propam Polri Lakukan Pemeriksaan Terhadap Anggotanya
Seiring dengan ramainya pemberitaan mengenai kasus ini, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri akhirnya turun tangan. Mereka dilaporkan telah memeriksa enam anggota Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah yang diduga terlibat dalam pemanggilan dan tekanan terhadap personel Sukatani. Meskipun demikian, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi mengenai hasil pemeriksaan tersebut.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Artanto, menyebut bahwa penyelidikan masih berlangsung dan pihaknya berkomitmen untuk memastikan bahwa tidak ada anggota yang bertindak di luar prosedur hukum.
Pengamat: Intimidasi Bisa Menjadi Blunder bagi Kepolisian
Kasus ini juga mendapat sorotan dari para pengamat kebijakan publik dan kepolisian. Bambang Rukminto, analis dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyatakan bahwa jika benar terjadi tekanan terhadap band Sukatani, maka tindakan tersebut justru bisa menjadi blunder besar bagi kepolisian.
“Seharusnya, aparat lebih memahami bagaimana mengelola kritik. Tindakan represif terhadap musisi justru akan memperburuk citra institusi dan menunjukkan bahwa demokrasi kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah,” kata Bambang dalam wawancaranya dengan media.
Dukungan dari DPR dan Menteri HAM
Menteri HAM, Natalius Pigai, juga ikut angkat bicara. Ia menanggapi laporan bahwa salah satu personel Sukatani diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru akibat kontroversi ini. “Jika benar terjadi pemecatan karena tekanan politik atau intimidasi, ini tentu tidak bisa dibiarkan. Kami akan memastikan ada tindak lanjut,” ujar Pigai.
Kesimpulan: Kebebasan Berekspresi Masih Rentan?
Kasus yang menimpa band Sukatani menegaskan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Musik, sebagai salah satu medium kritik sosial, seharusnya tidak menjadi alasan bagi seseorang untuk mendapatkan tekanan atau intimidasi. Kini, publik menunggu langkah konkret dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa demokrasi tetap terjaga, dan seniman tetap bisa berkarya tanpa rasa takut.
Bagaimana kelanjutan kasus ini? Apakah Sukatani akan kembali berkarya atau justru memilih untuk berhenti? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.