Jeritan Hati Seorang Ibu: Anak Jadi Korban ASN, Dilecehkan dan Dibully, Putusan Hakim Jadi Sorotan

 

         




Tangis pilu seorang ibu di Jambi pecah saat dirinya menceritakan penderitaan yang dialami putranya, korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam sebuah proses hukum yang penuh tekanan batin, ibu korban menyampaikan bahwa tidak hanya anaknya mengalami trauma berat akibat perbuatan bejat pelaku, tetapi juga menjadi sasaran perundungan dari lingkungan sosialnya.

Kejadian memilukan ini terjadi di wilayah Kabupaten Batanghari, Jambi. Sang ibu mengungkapkan bahwa setelah peristiwa pencabulan terjadi, anaknya yang masih duduk di bangku sekolah justru mengalami tekanan sosial dari teman-temannya. Alih-alih mendapat dukungan, anak tersebut justru kerap dihina dan dijadikan bahan ejekan. Perundungan itu membuat kondisi psikologis korban semakin memburuk.

"Anak saya trauma. Dia takut bersekolah. Teman-temannya malah menghina, memanggil-manggil nama dia sambil menertawakan. Tidak ada yang mendukung dia, malah semua menjauh," ujar ibu korban dengan suara gemetar.

Sementara itu, proses persidangan pelaku yang berstatus ASN tersebut telah memasuki tahap vonis. Majelis hakim menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada pelaku. Namun, keputusan ini menuai kekecewaan dari pihak keluarga korban dan masyarakat. Banyak yang menilai hukuman tersebut terlalu ringan mengingat dampak psikologis yang diderita anak korban serta jabatan pelaku sebagai abdi negara yang seharusnya menjadi teladan.

"Kami tidak puas. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal keadilan bagi anak saya. Dia akan menanggung trauma seumur hidup, sementara pelaku hanya lima tahun? Di mana keadilan?" lanjut ibu korban dengan mata berkaca-kaca.

Kasus ini pun mengundang perhatian dari berbagai pihak, termasuk aktivis perlindungan anak dan organisasi masyarakat. Mereka mendesak agar ada evaluasi terhadap sistem peradilan dalam menangani kasus kekerasan seksual, terutama jika pelaku adalah pejabat atau pegawai negara. Mereka menekankan bahwa hukuman yang ringan hanya akan melukai hati korban dan keluarganya serta membuka celah terjadinya kasus serupa di masa depan.

Tak hanya soal vonis, peristiwa ini juga membuka luka lama tentang bagaimana korban kekerasan seksual di Indonesia kerap menjadi korban ganda—disakiti secara fisik dan mental, lalu dikucilkan oleh masyarakat. Perlindungan dan pendampingan terhadap korban masih jauh dari memadai. Padahal, seharusnya seluruh elemen masyarakat memberikan dukungan moral, bukan menjadikan korban sebagai bahan olok-olok.

Kini, sang ibu hanya berharap anaknya bisa mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Ia berharap negara hadir secara penuh untuk membantu penyembuhan psikologis anaknya dan memastikan pelaku mendapat hukuman yang sepadan dengan perbuatannya.

Next dengan Timer

"Saya tidak akan diam. Saya akan terus mencari keadilan untuk anak saya. Dia tidak pantas mendapat semua ini. Kami hanya ingin hidup tenang dan anak saya bisa kembali sekolah tanpa dihina," tutupnya.

Perjuangan ibu ini menjadi simbol nyata betapa pentingnya reformasi dalam perlindungan korban kekerasan seksual, khususnya bagi anak-anak. Perlu ada perubahan mendasar, bukan hanya dalam sistem hukum, tetapi juga dalam pola pikir masyarakat agar tidak lagi menyudutkan korban, melainkan berdiri di sisi mereka.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama